Ketika sebaran serat optik belum merata, Indonesia masih butuh pemanfaatan satelit sebagai titik tumpu jaringan komunikasi dan informasi secara menyeluruh. Satelit juga jadi bisnis terbuka bagi para provider dan operator komunikasi. Salah satunya dunia perbankan.
Bank Rakyat Indonesia (BRI) tahun lalu menjadi bank pertama di Indonesia yang memiliki satelit sendiri. Kerja sama pembelian satelit dilakukan langsung oleh Senior Vice President Space System/Loral Amerika Serikat David Bernstein dan Senior Vice President Arianespace Prancis Jacques Breton. Kocek yang harus dirogoh sekitar USD 200-250 juta atau setara dengan Rp 2,5 triliun.
Direktur Utama BRI Sofyan Basir mengatakan ide pengadaan satelit muncul lantaran bank dengan laba terbesar di Indonesia ini pernah mengalami gangguan jaringan komunikasi. Delapan provider telekomunikasi yang dipakai sudah kewalahan. Padahal aktivitas transaksi bank tersebar di seluruh Indonesia di 22 ribu ATM BRI.
"Satelit tersebut akan didatangkan, kami minta orbit sama pemerintah. Prinsipnya kami sudah dapat izin dari Kemenkominfo dan kami mengajukan semua proposal komplet," ujarnya . Satelitnya diharapkan sudah mengorbit pada 2016.
Di dunia perbankan Indonesia, satelit sebenarnya menjadi kebutuhan operasional dalam transaksi saban hari. Pelayanan perbankan itu memang mempunyai anggaran fulus selangit. Saban tahun bisa mencapai kisaran Rp 300 miliar.
Di sisi lain, perkembangan teknologi satelit masih bergantung dengan negara lain. Potensi besar perkembangan satelit masih jauh dibandingkan geliat bisnis produk satelit buatan asing. Menurut tokoh dan pakar teknologi informasi, Onno Purbo, pengembangan teknologi masih kurang dukungan dan minat dari semua pihak untuk bisa menciptakan inovasi teknologi itu sendiri.
"Untuk bikin teknologi, kita butuh orang teknik yang bayak, butuh kurikulum yang baik, laboratorium untuk penelitian, dan kita butuh anggaran," ujarnya
Menurut dia, ironisnya sekarang ini jumlah mahasiswa yang berminat mendalami disiplin ilmu teknik di Indonesia hanya berkisar sembilan persen dari populasi mahasiswa di Indonesia.
Dalam hal ini keseriusan dalam mengembangkan teknologi, informasi dan komunikasi di semua lapisan harus ikut membantu terciptanya iklim yang baik bagi pengembangan dalam negeri. "Mulai dari sumber daya manusia, mulai dari kurikulum, investasi di kampus-kampus khususnya pendidikan teknik," ujarnya.
Dia justru bingung jika disiplin ilmu mengenai teknologi, informasi dan komunikasi malahan dihilangkan dari kurikulum di lingkungan sekolah. "Investasi laboratorium dikemanakan sekarang? Malahan jadi barang rongsokan," ujarnya.
Dia menambahkan, kalau mau memancing orang ke suatu bisnis tertentu cukup dengan mencetak banyak orang untuk bisa andil dan mengembangkan bisnis itu.
0 komentar:
Post a Comment